Selasa, 22 April 2008

Aura Kehidupan

Jika cinta menyerupai air pada beberapa tabiat dasarnya, maka sifat utama
air yang melekat padanya adalah fakta bahwa air adalah sumber kehidupan.
Jika cinta adalah gagasan tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang
lebih baik, dan tindakan utamanya adalah memberi untuk menumbuhkan, maka
kekuatan pesona utama, seorang pencinta adalah aura kehidupan yang
memancar dari dalam dirinya.
Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Ia membuat orang – orang
disekelilingnya merasakan denyut nadi kehidupan, merasakan hamparan
keindahan hidup, merasakan alasan tentang mengapa mereka hidup dan harus
melanjutkan hidup, merasakan alasan untuk bertumbuh demi merakit pemaknaan
tiada henti terhadap kehidupan. Ia, intinya membuat orang – orang di
sekeliling merasa hidup. Sebab ia menebar benih kehidupan di ladang hati
mereka.

Aura kehidupan.Ya, aura kehidupan. Sebab ia hidup. Dan hidup itu nyata
pada setiap jengkal tubuhnya, pada setiap detak jantungnya, pada setiap
hembusan nafasnya, pada setiap langkah kakinya, pada setiap uluran
tangannya, pada setiap kedipan matanya, pada setiap kata dan suaranya.
Gagasannya seluruhnya adalah tentang kehidupan yang lebih baik. Niatnya
seluruhnya adalah penumbuhan yang membuat hidup lebih baik.
Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Sebab ia memiliki dan menggabung tiga
pesona utama para pencinta : pesona raga, pesona jiwa, pesona ruh. Ketiga
pesona tersebut terbingkai rapih pada sebuah “akal besar“ yang menerangi
kehidupannya dan kehidupan orang – orang disekitarnya.

Maka mendekat – dekatlah padanya, niscaya engkau kan merasakan betapa air
kehidupan serasa mengalir pada setiap sudut jiwa dan ragamu. Maka tataplah
matanya, niscaya engkau kan merasakan gairah kehidupan yang memberimu
semangat baru untuk terus hidup, terus melanjutkan hidup. Maka
dengarkanlah kata – katanya, maka engakau kan merasakan betapa engkau
layak dan pantas mendapat kehidupan yang berkualitas, kehidupan yang lebih
baik. Dan jika tuhan mengijinkan engkau merasakan sentuhannya, niscaya
engkau kan merasakan betapa air kehidupan mendidih dalam tubuhnya. Dan
jika Tuhan memperkenankanmu hidup berlama - lama dengannya, niscaya engkau
kan merasakan betapa perlindungan dan penumbuhannya membuatmu terengkuh
dalam rasa aman dan nyaman.

Engkau bahkan tidak pernah begitu yakin tentang pesona apa yang pertama
kali menawanmu. Apakah kulit hitam yang tidak dapat menyembunyikan cahaya
matanya? atau ketegasan sikap yang tidak dapat merahasiakan kebajikan
hatinya? Atau kelembutan bawaan yang tidak sanggup menutup – nutupi
keberaniannya? Atau diam panjang yang tidak mampu menghalangi ilmu dan
wawasannya? Atau badan kurus yang dijelaskan oleh puasa dan pengendalian
dirinya? Atau? Tidak! Semua tampak menyatu dalam dirinya: ruhnya yang
halus, jiwanya yang lembut, terbungkus dalam raganya yang kokoh, terangkai
dalam perilaku yang terbimbing akal besarnya. Tapi itu semua ada dalam
dirinya. Dan ketika Ia keluar, ia hanya memancarkan satu hal: aura
kehidupan. Dan itulah yang engakau rasakan dan yang mungkin sekali tidak
engkau ketahui asal muasal dak akarnya dalam dirinya. Dia bukan nabi yang
tak mungkin salah. Dia hanya sebuah tekad perbaikan berkesinambungan yang
tak henti – henti. Dan itulah aura kehidupan: gairah yang tidak pernah
selesai.

Berhentilah jadi Gelas

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan
ini selalu tampak murung. "Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak
hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang
Guru bertanya. "Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi
saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,"
jawab sang murid muda. Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua
genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si
murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya
itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang
Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun
melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin. "Bagaimana
rasanya?" tanya Sang Guru. "Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid
dengan wajah yang masih meringis. Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah
muridnya yang meringis keasinan. "Sekarang kau ikut aku." Sang Guru
membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang
tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang
tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia
ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya
tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya. "Sekarang, coba kau
minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar
untuk didudukinya, tepat di pinggir danau. Si murid menangkupkan kedua
tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu
meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di
tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?" "Segar,
segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung
tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas
sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti,
air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?" "Tidak sama sekali," kata
si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya
tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau
sampai puas. "Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala
masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak
lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk
dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak
bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada
satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan
dan masalah." Si murid terdiam, mendengarkan. "Tapi Nak, rasa `asin’ dari
penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati)
yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah
jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."

Cangkir Yang Cantik

Sepasang suami dan isteri pergi belanja di sebuah toko suvenir. Saat berjalan, mata mereka tertuju pada sebuah cangkir yang cantik.
"Lihat cangkir itu," kata sang isteri kepada suaminya.

"Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat," jawab suaminya.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara.

"Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar. Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing.

Stop! Stop! Aku berteriak, tetapi orang itu berkata "belum!" Lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas! Panas!, teriakku dengan keras.

Stop! Cukup! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata "belum!"

Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop! Stop! Aku berteriak. Wanita itu berkata "belum!" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya.

Tolong! Hentikan penyiksaan ini! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus membakarku. Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin. Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik.

Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku."

***

Begitulah, Tuhan bekerja membentuk diri kita. Kala Dia membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara bagi Tuhan untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan mengeluarkan kemuliaan-Nya yang ada dalam diri kita.

Ujian-ujian dalam hidup kita adalah tempaan dari-Nya untuk membuat kita menjadi berharga. Memang menyakitkan, tapi sungguh luar biasa hasilnya kala kita melewatinya. Kita akan melihat betapa luarbiasanya Dia untuk membuat kita menjadi tegar dan semakin baik dari waktu ke waktu




Senin, 14 April 2008

Balapan Mobil

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan.

Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab, memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Marklah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".

Dor. Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.

"Ayo..ayo...cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka.

Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan, Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya.

"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?".

Mark terdiam.

"Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. Aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."

Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.

Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.

Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan utuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya?

Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya, Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya yang taat.

Sabtu, 12 April 2008

Beribadah atau Bekerja ???

Rekan-rekan, saya baru aja baca Robohnya Surau Kami dari AA Navis. Harus saya akui bahwa saya terinspirasi dengan cerpen tersebut. Disitu diceritakan tentang seorang yang selama hidupnya hanya rajin beribadah dalam arti hanya berdoa dan memuji Allah akhirnya masuk neraka. Pada awalnya orang yang merasa dirinya shaleh tersebut protes terhadap Tuhan, 'Ya Allah, Bagaimana mungkin saya yang rajin beribadah, selalu memuji namaMu malah masuk neraka.'Kemudian Allah berkata,'bagaimana mungkin kamu hanya beribadah dan memuji namaKu, sementara keluargamu, saudara-saudaramu, masyarakat di sekitarmu, bahkan negaramu dalam kesukaran dan kemiskinan? Aku tidak butuh pujian-pujianMu, sedangkan kamu menjadi egois karena hanya memikirkan kepentinganmu sendiri, sementara orang lain dalam kesusahan..Bahkan kamu termasuk orang yang malas, karena berdoa tidak mengeluarkan keringat.'

Rekan-rekan, sering dalam kehidupan kita melihat cerita atau situasi yang mirip. Misal,sudah punya pekerjaan dengan gaji cukup, sudah punya rumah, anak cukup sekolah, sandang, pangannya, pokoknya singkat kata orang tersebut merasa sudah terpenuhi semua kebutuhannya. Seringkali kemudian orang tersebut menjadi terjebak dalam comfort zone, lupa bahwa kalu dia bekerja lebih keras lagi, keberuntungan seperti yang dia miliki akan dapat dimiliki oleh banyak orang juga. Dia lupa, bahwa jika dia bekerja lebih giat lagi, lewat tangannya akan bisa membantu banyak orang di luar sana. Ingat kan, Indonesia kan masih miskin?

KEKUATAN IMPIAN

Suatu hari, ada seorang muda yang bertemu dengan seorang tua yang bijaksana. Si anak muda bertanya, "Pak, sebagai seorang yang sudah kenyang dengan pengalaman tentunya anda bisa menjawab semua pertanyaan saya".

"Apa yang ingin kau ketahui anak muda ?" tanya si orang tua. "Saya ingin tahu, apa sebenarnya yang dinamakan impian sejati di dunia ini". Jawab si anak muda.

Orang tua itu tidak menjawab pertanyaan si anak, tapi mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai. Sampai di suatu sisi, kemudian mereka berjalan menuju ke tengah laut. Setelah sampai agak ke tengah di tempat yang lumayan dalam, orang tua itu dengan tiba-tiba mendorong kepada si anak muda ke dalam air.

Anak muda itu meronta-2, tapi orang tua itu tidak melepaskan pegangannya. Sampai kemudian anak muda itu dengan sekuat tenaga mendorong keatas, dan bisa lepas dari cekalan orang tua tersebut.

"Hai, apa yang barusan bapak lakukan, bapak bisa membunuh saya" tegur si anak muda kepada orang bijak tersebut. Orang tua tersebut tidak menjawab pertanyaan si anak, malah balik bertanya ,"Apa yang paling kau inginkan saat kamu berada di dalam air tadi ?". "Udara, yang paling saya inginkan adalah udara". Jawab si anak muda.

"Hmmm, bagaimana kalo saya tawarkan hal yang lain sebagai pengganti udara, misalnya emas, permata, kekayaaan, atau umur panjang ?"tanya si orang tua itu lagi.

"Tidak ….. tidak …… tidak ada yang bisa menggantikan udara. Walaupun seisi dunia ini diberikan kepada saya, tidak ada yang bisa menggantikan udara ketika saya berada di dalam air" jelas si anak muda.

"Nah, kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri kalau begitu. KALAU KAMU MENGINGINKAN SESUATU SEBESAR KEINGINANMU AKAN UDARA KETIKA KAMU BERADA DI DALAM AIR, ITULAH IMPIAN SEJATI" kata si orang tua dengan bijak.

Renungan

Anda saat ini mempunyai impian sejati ?
Banyak orang yang mengatakan impian mereka ini, atau itu, tapi sebagian besar yang mereka sebutkan adalah keinginan belaka, bukan impian. Keinginan sifatnya tidak mendesak. Kalo bisa dapat syukur, nggak dapat juga tidak apa-apa. Kalo bisa mobil BMW, kalo nggak, Kijang juga gak apa-2.

Ada pula orang yang mempersepsikan impian dengan harapan. Keduanya mirip namun berbeda. Harapan lebih kepada sesuatu di masa depan yang terjadi dengan sendirinya atau atas hasil kerja orang lain. Campur tangan kita kecil sekali, atau bahkan tidak ada. Impian tidak seperti itu. Apapun yang terjadi, mau tidak mau, dengan perjuangan sekeras apapun impian itu HARUS tercapai.

Impian terbaik seorang manusia adalah ketika dia berusia dibawah lima tahun. "Saya mau jadi dokter, mau jadi pilot, mau jadi pengusaha, dll ……" bukankah itu yang kerap dikatakan oleh anak-anak anda ?

Sayangnya, begitu mereka menginjakkan kaki di bangku sekolah, mereka `diharamkan' membuat kesalahan. Selain itu, mereka juga mulai diajarkan melihat realitas dunia – dari sisi yang negatif.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, seorang remaja hingga dia berusia 20 tahun, rata-rata akan menerima 20.000 macam kata "NO". "Jangan nakal, jangan main air, jangan kesana, jangan malas, jangan pergi, dan ribuan kata jangan yang lain. Memang tujuannya baik karena mengajarkan kepada kita agar dapat hidup dengan baik.

Tapi karena terlampau seringnya kata "NO' itu diterima, akan mempengaruhi pula alam bawah sadar manusia. Sehingga setiap kali kita memikirkan sesuatu yang baru,
misalnya impian, yang pertama kali terlintas di benak kita adalah kata "NO".

Banyak juga orang saat ini apabila ditanya apa impiannya, mereka menjawab tidak tahu. Sungguh malang nasib orang tersebut, karena orang yang tidak mempunyai impian sebetulnya secara mental mereka sudah `mati'. Mungkin orang-2 tersebut menganggap hidup adalah suatu nasib, sehingga sekeras apapun mereka bekerja atau setinggi apapun impian mereka, namun apabila nasib tidak menghendaki mereka sukses, mereka tidak akan sukses.

Atau ada pula tipe orang yang terjebak di dalam `comfort zone', dimana kehidupan mereka saat ini sudah nyaman, atau setidaknya berkecukupan.
Mereka merasa tidak perlu membuat suatu impian yang lebih besar. Mereka mungkin akan berkata "Ah, buat apa rumah besar-besar …. Bisa ngontrak aja sudah bagus ……".

Tipe ketiga, ada orang yang SENGAJA tidak mau membuat impian, karena ……. malu jika ditertawakan orang lain, dianggap norak, nggak tau diri, atau bahkan gila. Nah, sebenarnya bukan anda yang norak, tapi karena hidup kita sudah terlalu penuh dikelilingi oleh orang-orang dengan pikiran negatif, dimana mereka akan merasa `tidak suka' jika ada seseorang yang tadinya setingkat dengan mereka, lalu mau pergi ke tingkat yang lebih tinggi. Mereka akan berusaha dengan ejekan, sindiran dan usaha-usaha lain agar anda tetap `selevel' dengan mereka. Kalau anda ingin membuktikan, coba besok pagi di kantor, katakan kepada rekan-2 anda, "Saya punya impian untuk jadi orang sukses.

Saya akan berusaha keras mencapainya, untuk membawa saya dan keluarga saya ke tingkat yang lebih baik". Lalu coba lihat ….. berapa banyak yang mentertawakan anda …..
Dan coba lihat pula berapa orang yang mendukung anda. Mungkin hampir tidak ada yang mendukung anda. Masih maukah anda meraih impian tersebut ….. setelah anda ditertawakan ….?

Rekan-2 sekalian, saya yakin kita saat ini masih mampu menciptakan impian-2 kita, asalkan kita mau menghilangkan segala penghalang di dalam benak kita. Cobalah untuk berpikir bebas, seperti anak berusia 5 tahun. Jangan hiraukan apa yang dikatakan orang tentang impian anda, tapi berusahalah agar impian itu tercapai.

Memang benar, kita tidak akan bisa mencapai semua impian kita. Tapi tanpa punya impian, anda tidak akan meraih apa-apa. Ciptakan impian, lakukan kerjanya, dan raih hasilnya

Kekuatan Impian

"The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams"
-- Eleanor Roosevelt --

RAHASIA 90-10

Rahasia 90/10

Apa Rahasia dari 90/10 ? 10 % kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi terhadap kita. 90 % kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi/memberi respon. Apa artinya ? Kita sungguh-sungguh tidak dapat mengontrol 10 % kejadian-kejadian yang menimpa kita. Kita tidak dapat mencegah kerusakan mobil. Pesawat mungkin terlambat, dan mengacaukan seluruh jadwal kita. Seorang supir mungkin menyalip kita di tengah kemacetan lalu-lintas. Kita tidak punya kontrol atas hal yang 10 % ini. Yang 90 % lagi berbeda. Kita menentukan yang 90 % ! Bagaimana ? Dengan reaksi kita. Kita tidak dapat mengontrol lampu merah, tapi dapat mengontrol reaksi kita. Jangan biarkan orang lain mempermainkan kita, kita dapat mengendalikan reaksi kita !

Mari lihat sebuah contoh. Engkau sedang sarapan bersama keluarga. Adik perempuanmu menumpahkan secangkir kopi ke kemeja kerjamu. Engkau tidak dapat mengendalikan apa yang telah terjadi itu. Apa yang terjadi kemudian akan ditentukan oleh bagaimana engkau bereaksi. Engkau mengumpat. Engkau dengan kasar memarahi adikmu yang menumpahkan kopi. Dia menangis. Setelah itu, engkau melihat ke istrimu, dan mengkritiknya karena telah menaruh cangkir kopi terlalu dekat dengan tepi meja. Pertempuran kata-kata singkat menyusul. Engkau naik pitam dan kemudian pergi mengganti kemeja. Setelah itu engkau kembali dan melihat adik perempuanmu sedang menghabiskan sarapan sambil menangis dan siap berangkat ke sekolah. Dia ketinggalan bis sekolah. Istrimu harus segera berangkat kerja. Engkau segera menuju mobil dan mengantar adikmu ke sekolah. Karena engkau terlambat, engkau mengendarai mobil melewati batas kecepatan maksimum. Setelah tertunda 15 menit karena harus membayar tilang, engkau tiba di sekolah. Adikmu berlari masuk. Engkau melanjutkan perjalanan, dan tiba di kantor terlambat 20 menit, dan engkau baru sadar, bahwa tas kerjamu tertinggal.
Hari-mu begitu buruk. Engkau ingin segera pulang. Ketika engkau pulang, engkau menemukan ada hambatan dalam hubungan dengan istri dan adikmu. Kenapa ? Karena reaksimu pagi tadi. Kenapa hari mu buruk ?

a) Karena secangkir kopi yang tumpah ?
b) Karena kecerobohan adikmu ?
c) Karena polisi yang menilang ?
d) Karena dirimu sendiri ?
Jawaban-nya adalah D.

Engkau tidak dapat mengendalikan tumpahnya kopi itu. Bagaimana reaksi-mu 5 detik kemudian setelah itu, yang menyebabkan harimu menjadi buruk. Ini yang mungkin terjadi jika engkau bereaksi dengan cara yang berbeda. Kopi tumpah di kemejamu. Adikmu sudah siap menangis. Engkau dengan lembut berkata "Tidak apa-apa sayang, lain kali kamu lebih hati-hati ya". Engkau pergi mengganti kemejamu dan dan tidak lupa mengambil tas kerjamu. Engkau kembali dan melihat adikmu sedang naik ke dalam bus sekolah. Istrimu menciummu sebelum engkau berangkat kerja. Engkau tiba di kantor 5 menit lebih awal, dan dengan riang menyalami para karyawan. Atasanmu berkomentar tentang bagimana baiknya hari ini buatmu.

Lihat perbedaannya. Dua skenario yang berbeda. Keduanya dimulai dari hal yang sama, tapi berakhir dengan berbeda. Kenapa ?
Karena REAKSI kita. SUNGGUH KITA TIDAK DAPAT MENGONTROL 10 % HAL-HAL YANG TERJADI. TAPI YANG 90 % LAGI DITENTUKAN OLEH REAKSI KITA TERHADAP KEJADIAN TERSEBUT.